Thursday, March 15, 2012

Home Schooling

Home Schooling?? Beneran nih?
Iya, sejak awal November 2011, Sekar resmi homeschool, alias belajar di rumah.
Kenapa? Apa sistem pendidikan di sana kurang bagus buat Sekar? Apa kamu ingin sesuatu yg lebih buat Sekar? Bagaimana caranya? Dan beberapa pertanyaan lain yg selalu ditanyakan oleh teman dan keluarga. Wajar sih karena mereka peduli dan ingin tahu juga kan.
Sebenarnya ini keputusan sangat berat buat kami, khususnya buat aku pribadi. Lebih berat dari memutuskan menikah dulu. wkwkwkkwk  Sampai-sampai aku tulis sebagai status di FB dan teman-teman mengira aku keberatan buat hamil lagi hi..hi..hi... Kalau hamil mah kami sudah mendambakannya bertahun-tahun, cuma belum diijinkan Tuhan saja saat itu. Cerita tentang kehamilanku di lain bab ya....
Mohon maaf sebelumnya kalau dalam ceritaku nanti aku terkesan melebihkan anak sendiri. Aku berusaha menuliskan apa adanya keadaan Sekar tanpa bermaksud sombong.
Ceritaku bermula dengan betapa bahagianya kami dikaruniai Sekar, seorang anak dengan banyak potensi. Memang sampai umur 3 thn belum bisa ngomong, dan terkesan nggak bisa apa-apa. Tapi begitu dia ngomong segalanya berubah drastis. Segala potensinya muncul termasuk potensi ngeyel dan suka protesnya. hi..hi..hi.. Kami sering dibuat terkaget-kaget dengan hal-hal baru yg berhasil dikuasainya, termasuk kemampuan membacanya yg tiba-tiba muncul ketika dia berusia 4 tahun. Kalau di Indonesia pasti nggak kaget ya karena sejak di TK mereka diajari membaca. Lha kalau disini boro-boro, mereka baru diajari mengenal huruf, dan kami sendiri tidak pernah sekalipun mengajar dia membaca dengan alasan takut dibilang mengekploitasi anak. Yang aku lakukan hanya membaca bersama sejak dia masih bayi, itupun sering-sering buku bahasa Indonesia. Setelah membaca lalu kemampuan logika matematikanya muncul & berkembang pesat, ditambah ide-ide ngayalnya yg kadang terlalu aneh untuk anak seusianya. Intinya Sekar kelihatan terpuaskan, gembira, aktif, dan gampang diajak kerja sama.
Cerita berganti, ketika Sekar menginjak TK dan kami memindahkan dia ke public school dengan alasan supaya dia bergaul dengan segala kalangan. FYI sekolah lamanya sekolah swasta yg cukup mahal, yg tentu saja punya golongan orang tertentu juga, kami mau dia bisa membaur dengan segala lapisan. Public school (sekolah pemerintah/negeri) kota kami ini sangat bagus dengan gedung besar, fasilitas lengkap (lebih engkap dari sekolah lamanya), banyak guru bagus, dan gratis pula.  Mayoritas dan hampir semua orang menyekolahkan anak mereka ke public. Maka nggak heran kalau satu angkatan, misalnya kelas 1 saja, ada 7 kelas, dan masing-masing kelas minimal ada 17 orang. Jadi kelas satu saja mereka punya sekitar 120 siswa, banyak banget kan. Mereka punya jadwal tertentu di dalam kelas mereka sendiri (home room) bersama wali kelas lalu berpindah-pindah ke materi-materi khusus dengan guru khusus yg berbeda lagi. Selain itu pas makan siang dan jam istirahat mereka digiring ke kantin sekolah atau ke park dan bergabung dengan ratusan murid lainnya. Buat anak lain mungkin tidak jadi masalah dan terbukti bertahun-tahun mereka punya program seperti itu. Tapi ceritanya lain buat Sekar-ku.
Awalnya Sekar sangat bahagia dengan sekolah barunya yang punya banyak teman dari berbagai kalangan & budaya. 2 bulan kemudian guru kelasnya mulai bilang kalau Sekar suka ngeyel. Lalu sebulan kemudian protesnya Sekar mulai menjadi dan berkembang ke menangis. Aku bingung juga harus jawab gimana ketika gurunya tanya apa yang biasa aku lakukan kalau Sekar tidak mau nurut perintah? Masalahnya kalau di rumah dia oke-oke saja kalau aku suruh, termasuk di sekolah lamanya yang nyaris tanpa masalah selama 2 tahun. Maka mulailah aku datang ke kelas lebih sering untuk bantu-bantu guru kelasnya sekalian melihat langsung dari dekat.
Hasil analisa pandangan mataku :
- Sekar terlihat bosan, saat itu mereka baru dikenakan huruf dan angka
- Sekar kebanyakan protes, terutama ttg hal-hal yg dia sudah tahu. Ini berhubungan dengan kepribadian Sekar yang nggak sabaran dan cenderung tidak flexible.
- Sekar mempunyai gaya berpikir yang berbeda dengan anak-anak lain, yg tentu saja sering menimbulkan kesalah pahaman bukan saja dengan temannya tapi juga dengan guru-gurunya.
- Sekar sering marah kalau pas angkat tangan ingin menjawab sesuatu tidak selalu mendapat giliran. Tentu saja kan guru harus juga memberi kesempatan kepada murid lain.
- Sekar mudah terpancing untuk terganggu, grogi, kuatir, terlalu gembira bergabung jadi satu ketika tiba-tiba bertemu dengan ratusan orang dalam satu ruangan. Ini ada hubungannya dengan sensory integration, terutama suara.
- Sekar perfectsionis dan sensitif, kalau melakukan kesalahan meskipun kecil dia akan merasa dalam masalah besar.
Saat-saat TK akhirnya berlalu juga meski tidak mulus. Kelas satu dimulai dengan strategi baru dari konselor sekolah. Sekar dipasangkan dengan guru kelas yang katanya paling berpengalaman dengan anak-anak bermasalah. Selain itu Sekar dimasukkan ke program kelas anak berbakat. Di kelas satu ini bukannya jadi tambah membaik, keadaan malah jadi tambah memburuk. Mereka punya standard umum yaitu untuk anak-anak yang tidak patuh caranya dengan mendisiplinkan mereka. Buat anak lain cara ini sangat ampuh, tapi tidak buat Sekar. Dengan Sekar ketika dia mulai punya ide beda kita harus punya banyak waktu untuk bicara memberikan pengertian kenapa ide kita berbeda dengan dia, minimal 15 menit. Hasilnya selalu bagus, karena hal itulah yang selalu aku lakukan dengan dia sejak kecil. Tapi guru kelas tentu saja tidak punya banyak waktu untuk satu murid saja kan. Nah solusinya setiap Sekar mulai ngeyel dia dikirim ke ruang konselor. Masalah utamanya sebenarnya antara Sekar dengan gurunya tapi penyelesaiannya dengan orang lain (konselor). Nah ini menurut analisaku membuat alam bawah sadar Sekar tidak terpuaskan dan akhirnya meledak menjadi masalah baru. Alih-alih menjadi lebih baik ketika ditegur, Sekar berubah menjadi tak terkontrol (missbehave) ketika dia melakukan kesalah meskipun kecil. Dia berubah tak ubahnya seperti macan liar kecil yang marah, super marah dan tidak takut sama siapapun. Dia hanya bisa diam dan kalem lagi ketika aku atau bapaknya datang, seketika diam. Aneh kan tapi itu yang terjadi. Kepala sekolahnya sampai bilang kalau selama 20 tahun karirnya di sekolah dia tidak pernah ketemu anak seperti Sekar.
Sementara Sekar tidak boleh sekolah selama 1 minggu sampai mereka menemukan formula baru untuk menghadapi Sekar. Segeralah rapat penting digelar bersama tentu saja orang-orang penting dari distrik untuk membahas Sekar. Kami harus menandatangani dokumen yang menyatakan kalau kami menyetujui mereka melakukan program khusus buat Sekar yg sebenarnya intinya menyetujui kalau Sekar dissable alias cacat. Perasaan kami campur-campur tapi kami memilih tidak membela diri ketika mereka mengadili kami. Toh tidak ada gunanya, yang paling penting buat kami bagaimana kedepannya buat kebaikan Sekar. Tidak berhenti sampai di situ, mereka datang ke rumah kami, melihat dengan mata kepala sendiri sehari-harinya Sekar di rumah dan bagaimana sih keadaan rumah tangga kami. Sebenarnya suatu prosedur yang normal karena yg mereka pikirkan adalah keselamatan anak dan di Amerika banyak anak diabuse orang tuanya sendiri. Tapi buat aku pribadi rasanya seperti ditembak tepat di jantung dengan mata masih melek ketika mendengar mereka mau mengunjungi rumahku. Semalaman nangis, tapi aku percaya ini bukan kesalahanku, aku sudah melakukan yang terbaik buat Sekar. Setelah 2 orang spikolog melihat keadaan kami di rumah, sedikit banyak mereka mulai percaya padaku. Berbagai test dilakukan atas Sekar termasuk membawa ke psikiater. Dokter menyarankan obat untuk memperoleh hasil cepat yang tentu saja kami tolak. Kami memilih konseling buat Sekar. Hasil test dinyatakan kalau Sekar tidak fleksibel, bahasa kerennya lack flexibility atau mood dissorder. Tapi aku pribadi melihatnya dia punya masalah dengan sensory integration terutama sensor terhadap bunyi-bunyian keras. Selain itu hasil test lainnya kemapuan bahasa & kepandaiannya saat itu (Sekar masih 6 thn) seperti anak usia 13 1/2 thn, nggak heran kalau dia selalu bilang bosan di kelas. Guru khusus sengaja diberikan khusus buat Sekar untuk selalu menemani dia di kelas, tapi hanya bertahan 3 hari, hari ke 4 Sekar menolak dengan keras. Aku menawarkan bantuan untuk menjadi pendamping khusus tapi tentu saja ditolak oleh sekolah dengan alasan tidak pernah ada orang tua menjadi guru khusus untuk anaknya sendiri. Aku ngotot dengan alasan aku cukup pintar, meskipun tidak punya latar belakang pendidikan khusus tapi aku seorang Engineer, dan hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi di rumah dan Sekar akan dalam sekejap tenang ketika aku datang meskipun sebelumnya dia sedang marah besar dan tidak terkontrol. Bener-bener kalau ingat aku pernah berkata sombong seperti itu aku jadi tertawa dan malu sendiri. wkwkwkwk Itu satu2nya kata-kata pembelaan diriku selama berkutat dengan masalah itu. Ya begini ini naluri seorang ibu untuk melindungi anaknya.
Berkat kata-kata sombongku itu akhirnya aku diijinkan menjadi guru pendampingnya Sekar sejak September 2010 sampai akhir Oktober 2011. Setahun lebih tanpa cacat aku mendampingi dia. Aku dapat jalur khusus bisa keluar masuk sekolah tanpa harus melapor, ditanya apa ideku buat Sekar, dan bahkan aku ditawari digaji. Tentu saja aku menolak, masak buat anak sendiri pakai hitung-hitungan. Tentu saja dapat kepercayaan seperti itu tidak mudah, mengingat kepala sekolah Sekar itu termasuk orang yang sulit. Beberapa kali aku ditest tetang keobyektifitasanku menghadapi Sekar. Yang paling sulit guru kelasnya Sekar yang senantiasa memberi hard time dan ngetest emosiku dan Sekar. Tiap hari aku cuma bisa berdoa agar Tuhan melembutkan hati Sekar sehingga hari itu berjalan lancar. Berangsur-angsur kepercayaan diri Sekar mulai terlihat, bisa lebih mengontrol emosi, lebih relaks, meskipun masih sering terjadi insiden, tapi tidak separah kemarin-kemarin. Dan aku pun mulai menjaga jarak dengan Sekar dengan mengurangi jam pendampinganku ke dia berangsur-angsur sampai hanya mendampingi 1 jam saja sehari, meskipun aku tetap datang ke sekolah dan membantu kelas lain. Tidak sia-sia aku harus datang tiap hari ke sekolah dari pagi sampai sore jam 3. Kelas konselingpun sudah tidak diperlukan lagi. Benar-benar bersyukur kami.
Naik ke kelas dua, aku pikir episode drama sedih berakhir setelah sebelum mulai sekolah lagi kami berlibur ke Indonesia sepanjang summer. Ternyata babak baru mulai lagi. Tapi disini ceritanya sedikit beda. Babak baru ini Sekar mulai percaya diri dan mulai malu dikawal oleh ibunya. Apa-apa selalu bilang aku bukan bayi lagi, aku tidak perlu bantuan. Tapi aku masih melihat gayanya yang nervous ketika mulai memasuki halaman sekolahnya. Tubuhnya tiba-tiba berubah jadi kaku ketika turun dari mobil. Sangat merasa bersalah ketika melakukan kesalahan kecil ditambah gaya protesnya menjadi lebih kuat. Semua masalahnya tetap berada di Sekar meski porsinya mengecil. Masalahnya sekarang dia mulai menolak aku, tapi dia tetap butuh bantuan sekali-kali. Akhirnya pihak sekolah mencarikan guru khusus baru yang bukan aku. Tapi kenyataannya secara bawah sadar Sekar menolak, dan terjadilah berbagai macam masalah lagi, bahkan protesnya kali ini lebih keras. Pihak sekolah memulai lagi dari awal tetapi tidak ada kemajuan sama sekali. Aku seperti dejavu melihat Sekar menangis seperti macan lagi. Aku langsung berpikir untuk segera menghentikannya sebelum semuanya bertambah parah, atau kembali ke titik awal lagi. Kami khususnya aku dengan tegas saat itu memutuskan mengeluarkan Sekar dari sekolah dan memutuskan untuk mendidiknya sendiri di rumah. Pihak sekolah meminta aku memikirkan lagi ttg keputusan itu dan kalau memang keputusanku sudah bulat mereka dengan senang hati menawarkan bantuan misalnya dengan sekolah 1/2 hari saja. Tanggapan mereka sangat positif.  Aku tahu mereka khususnya kepala sekolah mau yang terbaik buat Sekar, tapi aku lebih memikirkan Sekar, dia akan merasa sedih dan beda dengan teman-temannya yang lain kalau masih sekolah disana dan hanya masuk 1/2 hari.
Sebenarnya ide homeschooling ini sudah pernah aku dan bapaknya Sekar pikirkan jauh-jauh hari. Tapi kami merasa tidak cukup skill, tools, dan keberanian untuk memulainya. Terutama karena Sekar sangat tidak setuju. Pernah suatu hari setelah salah satu hari buruknya di sekolah kami bicara tentang homeschooling dengan Sekar. Saat itu Sekar setuju. Tapi apa yang terjadi, sebelum tidur dia nangis tanpa suara dan tanpa marah selama satu jam menyesali kenapa dia tidak bisa mengontrol diri di sekolah & dia akan kangen dengan teman2nya sekolah. Ibu mana sih yang tega melihat anaknya sedih begitu. Maka aku segera bilang kalau besok dia boleh sekolah lagi. Begitu terus maju mundur tentang keputusan ini, makanya aku bilang sebelumnya kalau masalah ini adalah masalah terberat dalam hidupku. Tapi hari itu tekadku sudah bulat. Berbekal support dari suami tercinta aku memutuskan mengeluarkan Sekar dari sekolah. Aku keraskan hatiku ketika menemani Sekar menangis tanpa suara lagi sebelum tidur. Benar-benar seminggu itu minggu terberat dalam kehidupan kami. Setelah selesai menemani Sekar tidur tentu saja tidak tahan akhirnya kami menangis juga termasuk suami. Aku bersyukur semua berakhir dengan baik. Sekar jadi lebih tenang dan bahagia sekarang. Proses panjang juga tidak langsung berakhir baik mengingat keputusanku saat itu mendadak banget tanpa tools & skill. Dan tentu saja protes dan gaya penolakan Sekar awal-awal homeschooling merupakan tantangan terbesarku. Cerita tentang awal homeschooling kami sampai sekarang akan aku tulis di lain cerita ya.....

4 comments:

  1. Ya ampyun mbak.... Aq sampai melok berkaca2 mataku membacanya.... Tetep semangat mbak dlm mendidik sekar dgn sgl kelebihan yg dimilikinya.Gbu

    ReplyDelete
  2. Makasih Fera. Apapun yang diberi Tuhan pasti yang terbaik buat kami & buat Sekar juga.

    ReplyDelete
  3. Wooow...........Aku sampe' meneteskan air mata, Shin.
    Sebagai ortu yg penting adalah kenyamanan serta kebahagiaan anak...bukan begitu bu.....???
    Aku yakin kamu pasti bisa!!!

    ReplyDelete
  4. Thanks buddy!! Doain kami selalu bisa memberi yg terbaik buat Sekar.

    ReplyDelete